Sabtu, 29 November 2008

Model Keperawatan Dorothea E. Orem

oleh : Alit Herdiansyah, Amd. Kep.

BAB I

PENDAHULUAN

Keperawatan sebagai pelayanan profesional, dalam aplikasinya harus dilandasi oleh dasar keilmuan keperawatan yang kokoh. Dengan demikian perawat harus mampu berfikir logis,dan kritis dalam menelaah dan mengidentifikasi fenomena respon manusia. Banyak bentuk – bentuk pengetahuan dan ketrampilan berfikir kritis harus dilakukan pada setiap situasi klien, antara lain degan menggunakan model – model keperawatan dalam proses keperawatan. Dan tiap model dapat digunakan dalam praktek keperwatan sesuai dengan kebutuhan.
Pemilihan model keperawatan yang tepat dengan situasi klien yang spesifik, memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang variable – variable utama yang mempengaruhi situasi kilen. Langkah – langkah yang harus dilakukan perawat dalam memilih model keperawatan yang tepat utk kasus spesifik adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan informasi awal tentang focus kesehatan klien,umur, pola hidup dan aktivitas sehari – hari untuk mengidentifikasi dan memahami keunikan pasien.
2. Mempertimbangkan model keperawatan yang tepat dengan menganalisa asumsi yang melandasi, definisi konsep dan hubungan antar konsep.
Dari beberapa model konsep, salah satu diantaranya adalah model self care yang diperkenalkan oleh Dorothea E. Orem. Orem mengembangkan model konsep keperawatan ini pada awal tahun 1971 dimana dia mempublikasikannya dengan judul “Nursing Conceps of Practice Self Care”. Model ini pada awalnya berfokus pada individu kemudian edisi kedua tahun 1980 dikembangkan pada multi person ‘s unit (keluarga, kelompok dan komunitas) dan pada edisi ketiga sebagai lanjutan dari 3 hubungan konstruksi teori yang meliputi : teori self care, teori self care deficit dan teori nursing system.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Dorothea E. Orem
Dorothea E. Orem pendidikan sekolah perawatan di rumah sakit Providence di Washington DC. Lulus Sarjana Muda tahun 1930. Lulus Master tahun 1939 pendidikan keperawatan. Tahun 1945 bekerja di Universitas Katolik di Amerika selama perjalanan kariernya ia telah bekerja sebagai staf perawat, perawat tugas pribadi, pendidik, administrasi keperawatan dan sebagai konsultan (1970).
a. Tahun 1958- 1959 sebagai konsultan di Departemen kesehatan pada bagian pendidikan kesejahteraan dan berpartisipasi pada proyek pelatihan keperawatan
b. Tahun 1959 konsep perawatan Orem dipublikasikan pertama kali
c. Tahun 1965 bergabung dengan Universitas Katolik di Amerika membentuk model teori keperawatan komunitas
d. Tahun 1968 membentuk kelompok konferensi perkembangan keperawatan, yang menghasilkan kerja sama tentang perawatan dan disiplin keperawatan
e. Tahun 1976 mendapat gelar Doktor Honoris Causa
f. Tahun 1980 mendapat gelar penghargaan dari alumni Universitas Katolik Amerika tentang teori keperawatan.
g. Selanjutnya Orem mengembangkan konsep keperawatan tentang perawatan diri sendiri dan dipulikasikan dalam keperawatan (Concept of Pratice tahun 1971).
h. Tahun 1980 mempublikasikan buku kedua yang berisi tentang edisi pertama diperluas pada keluarga, kelompok dan masyarakat.
i. Tahun 1985 mempublikasikan buku kedua yang berisi tentang tiga teori, yaitu ; Theory self care, theory self care deficit, theory system keperawatan.

2.2 Pengertian
Keperawatan mandiri (self care) menurut Orem’s adalah :
“Suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahaankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai dengan keadaan, baik sehat maupun sakit “ (Orem’s, 1980).
Pada dasarnya diyakini bahwa semua manusia itu mempunyai kebutuhan – kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan kebtuhan itu sendiri, kecuali bila tidak mampu.
2.3 Teori Sistem Keperawatan Orem
Teori ini mengacu kepada bagaimana individu memenuhi kebutuhan dan menolong keperawatannya sendiri, maka timbullah teori dari Orem tentang Self Care Deficit of Nursing. Dari teori ini oleh Orem dijabarkan ke dalam tiga teori yaitu ;
2.3.1 Self Care
Teori self care ini berisi upaya tuntutan pelayanan diri yang The nepeutic sesuai dengan kebutuhan
Perawatan diri sendiri adalah suatu langkah awal yang dilakukan oleh seorang perawat yang berlangsung secara continue sesuai dengan keadaan dan keberadannya , keadaan kesehatan dan kesempurnaan.
Perawatan diri sendiri merupakan aktifitas yang praktis dari seseorang dalam memelihara kesehatannya serta mempertahankan kehidupannya. Terjadi hubungan antar pembeli self care dengan penerima self care dalam hubungan terapi. Orem mengemukakan tiga kategori / persyaratan self care yaitu : persyaratan universal, persyaratan pengembangan dan persyaratan kesehatan.
Penekanan teori self care secara umum :
pemeliharaan intake udara
2. pemeliharaan intake air
3. pemeliharaan intake makanan
mempertahankankan hubungan perawatan proses eliminasi dan eksresi
pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
pemeliharaan keseimbangan antara solitude dan interaksi social
pencegahan resiko-resiko untuk hidup, fungsi usia dan kesehatan manusia
peningkatan fungsi tubuh dan pengimbangan manusia dalam kelompok social sesuai dengan potensinya.

2.3.2 Self Care Deficit
Teori ini merupakan inti dari teori perawatan general Orem. Yang menggambarkan kapan keperawatan di perlukan.Oleh karena perencanaan keperawatan pada saat perawatan yang dibutuhkan.
Bila dewasa (pada kasus ketergantungan, orang tua, pengasuh) tidak mampu atau keterbatasan dalam melakukan self care yang efektif
Teori self care deficit diterapkan bila ;
- Anak belum dewasa
- Kebutuhan melebihi kemampuan perawatan
- Kemampuan sebanding dengan kebutuhan tapi diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.

2.3.3 Nursing system
Teori yang membahas bagaimana kebutuhan “Self Care” patien dapat dipenuhi oleh perawat, pasien atau keduanya.
Nursing system ditentukan / direncanakan berdasarkan kebutuhan “Self Care” dan kemampuan pasien untuk menjalani aktifitas “Self Care”.
Orem mengidentifikasikan klasifikasi Nursing System :
The Wholly compensatory system
Bantuan secara keseluruhan, dibutuhkan untuk klien yang tidak mampu mengontrol dan memantau lingkungannya dan berespon terhadap rangsangan.
The Partly compensantory system
Bantuan sebagian, dibutuhkan bagi klien yang mengalami keterbatasan gerak karena sakit atau kecelakaan.
The supportive – Educative system
Dukungan pendidikan dibutuhkan oleh klien yang memerlukannya untuk dipelajari, agar mampu melakukan perawatan mandiri.
Metode bantuan :
Perawat membantu klien denagn mengguanakn system dan meallaui lima metode bantuan yang meliputi :
Acting atau melakukan sesuatu untuk klien
Mengajarkan klien
Menagarahkan klien
Mensuport klien
Menyediakan lingkungan untuk klien agar dapat tumbuh dan berkembang.
2.4 Keyakinan dan nilai – nilai
Kenyakianan Orem’s tentang empat konsep utama keperawatan adalah :
Klien : individu atau kelompok yang tidak mampu secara terus menerus memperthankan self care untuk hidup dan sehat, pemulihan dari sakit atau trauma atu koping dan efeknya.
Sehat : kemampuan individu atau kelompoki memenuhi tuntutatn self care yang berperan untuk mempertahankan dan meningkatkan integritas structural fungsi dan perkembangan.
Lingkungan : tatanan dimana klien tidak dapat memenuhi kebutuhan keperluan self care dan perawat termasuk didalamnya tetapi tidak spesifik.
Keperawatan : pelayanan yang dengan sengaja dipilih atau kegiatan yang dilakukan untuk membantu individu, keluarga dan kelompok masyarakat dalam mempertahankan self care yang mencakup integritas struktural, fungsi dan perkembangan.

2.5 Tiga kategori self care
Model Orem’s menyebutkan ada beberapa kebutuhan self care / hyang disebutkan sebagai keperluan sekf care ( self care requisite ), yaitu :
Universal self care requisite ; keperluan self care uiniversal aadan oada setiap manusia dan berkaitan dengan fungsi kemanusiaan dan proses kehidupan, biasanya mengacu pada kebutuhan dasar manusia. Universal requisite yang dimaksudkan adalah :
Pemeliaharaan kecukupan intake udara
Pemeliharaan kecukupan intake cairan
Pemeliaharaan kecukupan makanan
Pemeliaharaan keseimabnagn antara aktifitas dan istirahat
Mencegah ancaman kehidupan manusia, fungsi kemanusiaan dan kesejahteraan manusia
Persediaan asuhan yang berkaitan dengan proses- proses eliminasi.
Meningkatkan fungsi human fungtioning dan perkembangan ke dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi seseorang, keterbatasan seseorang dan keinginan seseorang untuk menjadi normal.

Developmental self care requisite : terjadi berhubungn dengan tingkat perkembangn individu dan lingkunag dimana tempat mereka tinggal yang berkaitan dengan perubahan hidup sseseorang atau tingkat siklus kehidupan.
Health deviation self care requisite : timbul karena kesehatan yang tidak sehat dan merupakan kebutuhan- kebutuhan yang menjadi nyata karena sakit atau ketidakmampuan yang menginginkan perubahan dalam prilaku self care.

2.6 Tujuan
Tujuan keperawatan pada model Orem”s secara umum adalah :
Menurunkan tuntutan self care pada tingkat diamna klien dapat memenuhinya, ini berarti menghilangkan self care deficit.
Memungkinkan klien meningkatkan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan self care.
Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) bagi klien untuk memberikan asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care deficit apapun dihilangkan.
jika ketiganya ditas tidak tercapai perawat secara lngsung dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan self care klien.
Tujuan keperawatan pada model Orem’s yang diterapkan kedalam praktek keperawatan keluarga/ komunitas adalah :
Menolong klien dalam hal ini keluraga untuk keperawatan mandiri secara terapeutik
Menolong klien bergerak kearha tidaakan- tidakan asuahan mandiri
Membantu anggota keluarga untuk merawat anggota keluraganya yang mengalami gangguan secara kompeten.
Dengan demikian maka focus asuhan keperawatan pada model orem’s yang diterapkan pada praktek keperawtan keutrga/ mkomunitas adalah:
aspek interpersonal : hubungna didalam kelurga
aspek social : hubungan keurga dengan masyarakat disekitarnya.
aspek procedural ; melatihn ketrampilan darar keuraga sehingga mampu mengantisipasi perubahan yang terajdi
aspek tehnis : mengajarkan keapda keluarga tentang tehnik dasar yang dialkukan di rumah, misalnya melakukan tindakan kompres secra benar.

BAB III
PENUTUP
Dengan mempelajari model kosep atau teori keperawatan sebagaimana disampaikan dimuka maka dapat disimpulkan bahwa perawat harus memahami apa yang harus dilakukan secara tepat dan akurat sehingga klien dapat memperoleh haknya secara tepat dan benar. Asuhan keperawatan dengan pemilihan model konsep atau teori keperawatan yang sesuai dengan karakteristik klien dapat memberikan asuhan keperawatan yang relevan .
Model konsep atau teori keperawatan self care mempunyai makna bahwa semua manusia mempunyai kebutuhan - kebutuhan self care dan mereka mempunyai hak untuk memperolehya sendiri kecuali jika tidak mampu. Dengan demikian perawat mengakui potensi pasien untuk berpartisipasi merawat dirinya sendiri pada tingkat kemampuannya dan perawatan dapat menentukan tingkat bantuan yang akan diberikan.
Untuk dapat menerapkan model konsep atau teori keperawatan ini diperlukan suatu pengetahuan dan ketrampilan yang mendalam terhadap teori keperawatan sehingga diperoleh kemampuan tehnikal dan sikap yang therapeutik.

ETIKA DAN HUKUM KEPERAWATAN

ETIKA DAN HUKUM KEPERAWATAN oleh : Alit Herdiansyah, Amd. Kep.

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien.
Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum terhadap dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas.
Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang etik dan hukum dalam keperawatan.

1.2 TUJUAN
Setelah membaca makalah ini, diharapkan mampu memahami :
Pengertian etika profesi keperawatan
Tujuan etika keperawatan
Kode Etik Keperawatan
Hukum Keperawatan
Fungsi Hukum dalam Keperawatan
Undang-Undang Praktek Keperawatan

BAB 2
ISI

2.1 ETIK KEPERAWATAN
2.1.1 Pengertian Etika dan Etiket
Etik atau ethics berasal dari kata yunani, yaitu etos yang artinya adat, kebiasaaan, perilaku, atau karakter. Sedangkan menurut kamus webster, etik adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : a) baik dan buruk, b) kewajiban dan tanggung jawab (Ismani,2001).
Etik mempunyai arti dalam penggunaan umum. Pertama, etik mengacu pada metode penyelidikan yang membantu orang memahami moralitas perilaku manuia; yaitu, etik adalah studi moralitas. Ketika digunakan dalam acara ini, etik adalah suatu aktifitas; etik adalah cara memandang atau menyelidiki isu tertentu mengenai perilaku manusia. Kedua, etik mengacu pada praktek, keyakinan, dan standar perilaku kelompok tertentu (misalnya : etik dokter, etik perawat).
Etika berbagai profesi digariskan dalam kode etik yang bersumber dari martabat dan hak manusia (yang memiliki sikap menerima) dan kepercayaan dari profesi.
Moral, istilah ini berasal dari bahasa latin yang berarti adat dan kebiasaan. Pengertian moral adalah perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang merupakan “standar perilaku” dan nilai-nilai” yang harus diperhatikan bila seseorang menjadi anggota masyarakat di mana ia tinggal.
Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, serta menjadi suatu kebiasaan didalam masyarakat, baik berupa kata-kata atau suatu bentuk perbuatan yang nyata.



2.1.2 Kode Etik Keperawatan
Kode etik adalah suatu pernyataan formal mengenai suatu standar kesempurnaan dan nilai kelompok. Kode etik adalah prinsip etik yang digunakan oleh semua anggota kelompok, mencerminkan penilaian moral mereka sepanjang waktu, dan berfungsi sebagai standar untuk tindakan profesional mereka.
Kode etik disusun dan disahkan oleh organisasi atau wadah yang membina profesi tertentu baik secara nasional maupun internasional. Kode etik keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia melalui Musyawarah Nasional PPNI di jakarta pada tanggal 29 November 1989.
Kode etik keperawatan Indonesia tersebut terdiri dari 4 bab dan 16 pasal. Bab 1, terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan masyarakat. Bab 2, terdiri dari lima pasal menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap tugasnya. Bab 3, terdiri dari dua pasal, menjelaskan tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain. Bab 4, terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan. Bab 5, terdiri dari dua pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa, dan tanah air.

Tanggung jawab Perawat terhadap klein
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan tentang hubungan antara perawat dengan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
Perawat, dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada tanggung jawab yang bersumber pada adanya kebutuhan terhadap keperawatan individu, keluarga, dan masyarakat.
Perawat, dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan, memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat.
Perawat, dalam melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.
Perawat, menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi kepentingan masyarakat.

Tanggung jawab Perawat terhadap tugas
Perawat, memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat.
Perawat, wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya, kecuali diperlukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perawat, tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang dimilikinya dengan tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
Perawat, dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, dan kedudukan sosial.
Perawat, mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien/klien dalam melaksanakan tugas keperawatannya, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.

Tanggung jawab Perawat terhadap Sejawat
Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain sebagai berikut :
Perawat, memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara keserasiaan suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluru.
Perawat, menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya kepada sesama perawat, serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.

Tanggung jawab Perawat terhadap Profesi
Perawat, berupaya meningkatkan kemampuan profesionalnya secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan.
Perawat, menjungjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat-sifat pribadi yang luhur.
Perawat, berperan dalammenentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta menerapkannya dalam kagiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.
Perawat, secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.

Tanggung jawab Perawat terhadap Negara
Perawat, melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijsanaan yang telah digariskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
Perawat, berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.



2.1.3 Kode Etik Keperawatan Menurut ICN (International Council 0f Nurses Code for Nurses)
ICN adalah suatu federasi perhimpunan perawat nasional diseluruh dunia yang didirikan pada tanggal 1 juli 1899 oleh Mrs. Bedford Fenwich di Hanover Squar, London dan direvisi pada tahun 1973. Uraian Kode Etik ini diuraikan sebagai berikut :
1. Tanggung Jawab Utama Perawat
Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatnya kesehatan, mencegah timbulnya penyakit, memelihara kesehatan, dan mengurangi penderitaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, perawat harus meyakini bahwa :
Kebutuhan terhadap pelayanan keperawatan di berbagai tempat adalah sama.
Pelaksanaan praktek keperawatan dititik beratkan terhadap kehidupan yang bermartabat dan menjungjung tinggi hak asasi manusia.
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dan atau keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok, dam masyarakat, perawat mengikut sertakan kelompok dan institusi terkait.
2. Perawat, Individu, dan Anggota Kelompok Masyarakat
Tanggung jawab utama perawat adalah melaksanakan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas, perawat perlu meningkatkan keadaan lingkungan kesehatan dengan menghargai nilai-nilai yang ada di masyarakat, menghargai adat kebiasaan serta kepercayaan inidividu, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang menjadi pasien atau klien. Perawat dapat memegang teguh rahasia pribadi (privasi) dan hanya dapat memberikan keterangan bila diperlukan oleh pihak yang berkepentingan atau pengadilan.
3. Perawat dan Pelaksanaan praktek keperawatan
Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik keperawatan untuk mencapai kemampuan yang sesuai dengan standar pendidikan keperawatan. Perawat dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif untuk menopang perannya dalam situasi tertentu. Perawat sebagai anggota profesi, setiap saat dapat mempertahankan sikap sesuai dengan standar profesi keperawatan.
4. Perawat dan lingkungan Masyarakat
Perawat dapat memprakarsai pembaharuan, tanggap mempunyai inisiatif, dan dapat berperan serta secara aktif dalam menemukan masalah kesehatan dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
5. Perawat dan Sejawat
Perawat dapat menopang hubungan kerja sama dengan teman sekerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain di luar keperawatan. Perawat dapat melindungi dan menjamin seseorang, bila dalam masa perawatannya merasa terancam.
6. Perawat dan Profesi Keperawatan
Perawat memainkan peran yang besar dalam menentukan pelaksanaan standar praktek keperawatan dan pendidikan keperawatan. Perawat diharapkan ikut aktif dalam mengembangkan pengetahuan dalam menopang pelaksanaan perawatan secara profesional. Perawat, sebagai anggota organisasi profesi, berpartisipasi dalam memelihara kestabilan sosial dan ekonomi sesuai dengan kondisi pelaksanaan praktek keperawatan.

2.1.4 Tujuan Kode Etik Keperawatan
Pada dasarnya, tujuan kode etik keperawatan adalah upaya agar perawat, dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya, dapat menghargai dan menghormati martabat manusia. Tujuan kode etik keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Merupakan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, klien atau pasien, teman sebaya, masyarakat, dan unsur profesi, baik dalam profesi keperawatan maupun dengan profesi lain di luar profesi keperawatan.
2. Merupakan standar untuk mengatasi masalah yang silakukan oleh praktisi keperawatan yang tidak mengindahkan dedikasi moral dalam pelaksanaan tugasnya.
3. Untuk mempertahankan bila praktisi yang dalam menjalankan tugasnya diperlakukan secara tidak adil oleh institusi maupun masyarakat.
4. Merupakan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan kepoerawatan agar dapat menghasilkan lulusan yang berorientasi pada sikap profesional keperawatan.
5. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pemakai / pengguna tenaga keperawatan akan pentingnya sikap profesional dalam melaksanakan tugas praktek keperawatan.

2.2 HUKUM KEPERAWATAN
2.2.1 Fungsi Hukum dalam Praktek Keperawatan
Hukum mempunyai beberapa fungsi bagi keperawatan :
Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum.
Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi yang lain.
Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri.
Membantu dalam mempertahankan standar praktek keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum (Kozier, Erb, 1990)

2.2.2 Undang-Undang Praktek Keperawatan
1. Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan
1.1 BAB I ketentuan Umum, pasal 1 ayat 3
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
1.2 Pasal 1 ayat 4
Sarana kesehatan adalah tempat yang dipergunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1239/MENKES/SK/XI/2001tentang Registrasi dan Praktek Perawat (sebagai revisi dari SK No. 647/MENKES/SK/IV/2000)
2.1 BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 :
Dalam ketentuan menteri ini yang dimaksud dengan :
1. perawat adalah orang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Surat ijin perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan diseluruh Indonesia.
3. Surat ijin kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis untuk menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh wilayah Indonesia.

2.2 BAB III perizinan,
Pasal 8, ayat 1, 2, & 3 :
1. Perawat dapat melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan, praktek perorangan atau kelompok.
2. perawat yang melaksanakan praktek keperawatan pada sarana pelayanan kesehatan harus memiliki SIK
3. Perawat yang melakukan praktek perorangan/berkelompok harus memiliki SIPP


Pasal 9, ayat 1
SIK senagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 2 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

Pasal 10
SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 12
1. SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 3 diperoleh dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
2. SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan dengaan kompetensi yang lebih tinggi.
3. Surat ijin praktek Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk menjalankan praktek perawat.

Pasal 13
Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan atau SIPP dilakukan melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktek keperawatan.

Pasal 15
Perawat dalam melaksanakan praktek keperawatan berwenang untuk :
a. Melaksanakan asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a meliputi : inteervensi keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan.
c. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksudhuruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan organisasi profesi.
d. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakuakn berdasarkan permintan tertulis dari dokter.



Pengecualian pasal 15 adalah pasal 20 :
1. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa pasien/perorangan, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15.
2. Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.

Pasal 21
1. Perawat yang menjalankan praktek perorangan harus mencantum SIPP di ruang prakteknya.
2. Perawat yang menjalankan praktek perorangan tidak diperbolehkan memasang papan praktek.

Pasal 31
1. Perawat yang telah mendapatkan SIK atau SIPP dilarang :
a. Menjalankan praktek selain ketentuan yang tercantum dalam izin tersebut.
b. Melakukan perbuatan bertentangan dengan standar profesi.
2. Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 butir a.

BAB 3
PENUTUP

3.1 SIMPULAN

Pengendalian praktek keperawatan secara internal adalah Kode Etik sedangkan secara eksternal adalah hukum. Praktek keperawatan harus dilakukan secara benar dalam arti keilmuannya dan baik dalam arti aspek Etik dan legalnya. Praktek Keperawatan berkaitan erat dengan kehidupan manusia untuk itu praktik keperawatan harus dilakukan oleh perawat profesional yang berkompeten. Setiap perawat yang praktek wajib memiliki SIP, SIK, SIPP.

Asuhan Keperawatan pada pasien DHF

Oleh : Alit Herdiansyah, Amd. Kep.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini. Sejak Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53%). Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%). Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai. Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan DHF (Dengue Hemorraghic Fever) ?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit DHF ?
3. Bagaimana epidemologi dari penyakit DHF ?
4. Bagaimana patogenesis dari penyakit DHF ?
5. Bagaimana patofisiologi dari penyakit DHF ?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari DHF ?
7. Bagaimana derajat DHF ?
8. Bagaimana penatalaksanaan dengan klien DHF ?
9. Bagaimana ASKEP yang harus dilakukan pada kemungkinan klien dengan DHF ?

III. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memahami konsep dsar mengenai DHF yang meliuti pengertian, etiologi,
epidemologi, patofisiologi, manifestasi klinis serta penatalaksanaan dengan klien DHF.
2. Untuk mengetahui diagnosa yang mungkin terjadi pada klien DHF.
3. Untuk memahami pemberian asuhan keperawatan yang rasional pada klien
dengan DHF berdasarkan diagnosa yang disusun.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dari DHF (Dengue Haemmoraghi Fever)

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae, dengan genusnya adalah flavivirus, yang ditandai oleh empat manifestasi klinis utama; demam tinggi, fenomena hemoragik, hepatomegali dan pada kasus berat,tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue (Soegeng Soegijanto,2006).

2.2 Etiologi
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kamatian, terutama pada anak serta sering menimbulkan wabah. Dalam siklus hidupnya, Aedes aegypti mengalami empat staduim yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Stadium telur, larva dan pupa hidup di dalam air tawar yang jernih serta tenang.
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti yaitu tempat dimana nyamuk Aedes aegypti meletakkan telurnya terdapat di dalam rumah (indoor) maupun diluar rumah (outdoor). Tempat perindukan yang ada di dalam rumah yang paling utama adalah tempat-tempat penampungan air. Sedangkan tempat perindukan yang ada di luar rumah (halaman) adalah kaleng bekas, botol, dll.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah populasi nyamuk:
Iklim
Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti tidak terus menerus sepanjang tahun. Apabila musim hujan tiba maka populasi nyamuk Aedes aegypti akan meningkat sedangkan pada waktu musim kemarau populasi nyamuk akan menurun. Hal ini disebabkan karena pada musim kemarau jumlah tempat perindukannya berkurang ( yang diluar rumah mengering ).

Suhu dan kelembaban
Suhu udara yang tinggi dan kelembaban udara yang relatif rendah sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan nyamuk , akibatnya umur nyamuk lebih pendek dan cepat mati. Sebaliknya suhu udara yang sejuk dan kelembaban udara yang tinggi sangat menguntungkan bagi kehidupan nyamuk.
Faktor-faktor risiko pada DHF (WHO,2004):
Status imun setiap individu
Strain/serotipe yang menginfeksi
Usia pasien
Latar belakang genetik pasien

2.3 EPIDEMOLOGI
Epidemi dengue selama tiga abad terakhir ini diketahui terjadi di daerah beriklim tropis, subtropis, dan sedang di seluruh dunia. Kejadian Luar biasa (KLB) penyakit dengue serupa dengan DHF yang dicatat pertama kali terjadi di Australia tahun 1897. Penyakit perdarahan serupa juga berhasil dicatat pada tahun 1928 saat terjadi di Yunani dan kemudian Taiwan tahun 1931. Epidemi DHF pertama yang berhasil dipastikan, dicatat di Filipina antara 1953-1954. Selanjutnya, KLB besar DHF yang mengakibatkan banyak kematian terjadi di sebagian besar negara Asia Tenggara, termasuk India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Sri Lanka dan Thailand, juga di Singapura, Kamboja, China, Laos, Malaysia, Kaledonia Baru, Palau, Filipina, Tahiti dan Vietnam di wilayah Pasifik barat. Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan yang tajam pada insidensi dan penyebaran DHF secara geografis dan di beberapa negara Asia Tenggara, sekarang epidemi terjadi setiap tahun.
Aedes Aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia meliputi semua propinsi yang ada. Indonesia Penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat, namun spesies ini juga ditemukan di daerah pedesaan yang terletak di sekitar kota pelabuhan. Penyebaran Aedes Aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan karena larva Aedes aegypti terbawa melalui transportasi yang mengangkut benda-benda berisi air hujan pengandung larva spesies ini.
Walaupun nyamuk ini umurnya pendek yaitu kira-kira 10 hari tetapi dapat menularkan virus dengue yang masa inkubasinya antara 3-10 hari. Pengendalian spesies nyamuk ini dilakukan dengan berbagai cara: a) Perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya gigitan Aedes aegypti yaitu dengan memasang kawat kasa di lubang angin diatas jendela/pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah dengan insektisida dan penggunaan repellent pada saat berkebun. b) Pembuangan/mengubur benda–benda di pekaranagan/kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol, ban mobil dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat perlindungan Aedes aegypi (man made breeding place). c) Mengganti air/membersihkan tempat–tempat air secara teratur tiap minggu sekali, pot bunga, dan bak mandi. d) pemberian Abate ke dalam tempat penampungan air bersih (abatisasi). e) Melakukan fogging dengan malathion setidak-tidaknya 2x dengan jarak waktu 10 hari di daerah yang terkena wabah di daerah endemi DHF. f) Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar rakyat dapat memelihara kebersiahan lingkungan dan turut secara perseorangan memusnahkan tempat-tempat perlindungan Aedes aegypti di sekitar rumah.
Di samping itu, memonitor kepadatan populasi nyamuk yang belum dewasa dilakukan dengan cara pemeriksaan tempat-tempat perindukkan di dalam dan diluar rumah dari 100 rumah yang terdapat di daerah pemeriksaan. Ada 3 angka indeks yang perlu diketahui yaitu: a) angka rumah (house index ) ialah persentase rumah yang positif dengan larva Aedes aegypti, b) angka tempat perindukan (cortainer index) ialah persentase tempat perindukan yang positif dengan larva Aedes aegypti, c) angka breteu (Breteu index)
ialah jumlah tempat perindukan yang positif dengan larva Aedes aegypti dalam tiap 100 rumah.

2.4 Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk aedes aegypti atau aedes albapictus. Organ sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akam difagosit oleh sel monosit perifer.
Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit orang dengan demam berdarah, maka virus Dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang diisapnya. Didalam tubuh nyamuk, virus berkembang baik dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus Dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang dihisap tidak membeku dan pada saat inilah virus Dengue ditularkan ke orang lain. Didalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistem retukuloendotelial dan target utama virus dengue adalah APC (antigen presenting cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis tampak hingga 5-7 hari setelahnya. Virus bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T.

2.5 Patofisiologi
Patogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami, namun terdapat dua perubahan patofisiologis yang menyolok. Pertama adalah meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Kedua, gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi singkat (24-48 jam).
Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita adalah viremia yang mengakibatkan pendrita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hiperemi tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (hepatomegali) dan pembesaran limpa (spenomegali).
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit>20%) menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma (plasma leakage) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Oleh karena itu pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk memantau hematokrit darah berkala untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi yang terjadi.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi sehingga pemberian cairan intravena harus di kurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung. Sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatakan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik.
Aktivasi sistem komplemen selalu dijumpai pada pasien DBD. Kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a serta C5a meningkat. Mekanisme aktivasi komplemen tersebut belum diketahui. Adanya kompleks imun telah dilaporkan pada DBD, namun demikian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD belum terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan penyakit DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan dengan adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibodi heterotipik sebagai akibat infesi Dengue sebelumnya. Namun demikian, terdapat bukti bahwa faktor virus serta respons imun cell-mediated terlibat juga dalam patogenesis DBD. (WHO, 2000).
Sistem Respon Imun
Setelah virus Dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral maupun seluler, antara lain antinetralisasi, antihemaglutinin, antikomplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi Dengue primer antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder kadar antibody yang telah ada meningkat (boosterbeffect).
Antibodi terhadap virus Dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetic antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat.

2.6 Manifestasi Klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan:
a. Uji torniquet positif
b. Perdarahan spontan berbentuk petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena.
Hepatomegali
Renjatan (syok), nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin dan anak gelisah.
Temuan Laboratorium :1. Trombositopeni (trombosit <> 20%)

2.7 Klasifikasi DHF
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat penyakit, secara klinis dibagi menjadi:
(WHO,1986)
Derajat I:Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi tanpa perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif..Derajat II :Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.Derajat III:Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.Derajat IV :Syok berat (profound shock), DSS (Dengue Syok syndrom) nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
2.8 Penatalaksanaan
Berdasarkan kenyataan di masyarakat penatalaksanaan kasus DBD dibagi sebagai berikut: Kasus DBD yang memungkinkan untuk berobat jalan, Kasus DBD yang dianjurkan rawat tinggal: a ) Kasus DBD derajat 1 dan II, b) Kasus DBD derajat III dan 1V.(Soegeng Soegijanto,2006)

v Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keinginan makan dan minum masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat panas paracetamol 10-15 mg/kgBB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas masih nyata di atas 38.5ºC. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai risiko terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya.
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan untuk dirawat inap.
v Penatalaksanaan DBD derajat I dan II
Pada hari ke-3,4 dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai risiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita ini disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3. Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20 % dari harga normal merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan sebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk memperoleh cairan pengganti segera.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DHF sama seperti yang digunakan
pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10%) kekurangan dalam kurun waktu 2-3 jam pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cukup dan cegah pemberian transfusi berulang. Petunjuk pemberian cairan jumlah tetesan harus jelas.
Perhitungan secara kasar sebagai berikut:
(ml/jam) = (tetesan/menit) x 3

Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam) pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernapasan (efusi pleura dan ascites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema.

Jenis cairan
Kristaloid 1,4,9-12
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan ringer laktat
5% Dekstrose di dalam larutan ringer asetat
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali) dan
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali).
2. Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40) Plasma.

Kebutuhan cairan
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung pada umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama.

v Penatalaksanaan DHF (derajat III dan derajat IV)
“Dengue Shock Syndrome” (sindrom renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan yang menbutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat. Biasanya dijumpai kelainan asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang diinginkan larutan garam isotonic (ringer laktat, 5% dekstrose dalam larutan ringer laktat atau 5% dektrose dalam larutan ringer asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1jam.
Pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x). Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloid (dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam. Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan central venous pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DHF yang sangat berat da sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal faal (D5 ½ NS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah
1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urin baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urin yang cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan berlebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema paru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorpsi jangan diinterpretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorpsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urin cukup dengan tanda-tanda vital yang baik.
Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik

Pada kasus yang berat hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh karena itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur terutama pada kasus dengan renjatan yang berulang. Cara pemberian adalah: 0,3 x Berat badan x Defisit Basa. Tetapi kalau fasilitas pemeriksaan analisa gas darah tidak ada dan penderita menunjukkan pernafasan kusmaull, Bikarbonas natrikus diberikan dengan dosis 112 mEq/kgBB, diencerkan dalam jumlah yang sama banyak dengan Dekstose 5%, disuntikkan secara perlahan-lahan.
Obat Penenang
Pada beberapa kasus, pengobatan dengan sedatif diperlukan untuk menenangkan anak yang gelisah. Obat-obatan hepatotoksik harus dihindarkan. Kloral hidrat dapat diberikan melalui anus maupun oral, sangat dianjurkan dengan dosis 12,5-50 mg per kilogram berat badan (tetapi jangan lebih 1 jam) sebagai dosis hipnotik tunggal. Kegugupan atau kegelisahan yang diakibatkan oleh perfusi jaringan akan mereda setelah pemberian penggantian volume cairan yang adekuat.
Terapi Oksigen
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen. Oksigen untuk mencegah hipoksia dan terjadinya oksidasi yang tidak lengkap, yang mengakibatkan lakto-asidosis. Pemberian melalui masker 5-8 liter/menit atau melalui kateter sampai di naso-faring 3-5 liter/menit.
Transfusi Darah
Uji penggolongan darah dan pencocokan silang harus dilakukan salah satu tindakan pencegahan pada setiap pasien yang mengalami syok, terutama pada kasus dengan syok mendalam. Transfusi darah diinstruksikan pada kasus yang menampakkan manifestasi perdarahan yang signifikan.
Perdarahan interna mungkin akan sulit dikenali jika terjadi hemokonsentrasi. Penurunan kadar hematokrit-mis, dari 0,5 (50%) menjadi 0,4 (40%) tanpa menunjukkan perbaikan klinis walaupun sudah diberikan cairan yang memadai, menandakan adanya perdarahan interna yang signifikan. Fresh whole blood lebih dianjurkan dan volume yang diberikan harus volume yang hanya cukup untuk menaikkan konsentrasi darah merah sampai kembali normal. Fresh frozen plasma dan/atau trombosit yang kental mungkin diperlukan pada beberapa kasus jika koagulasi intravaskular diseminata menyebabkan perdarahan masif.
Koagulasi intravaskuler diseminata biasa terjadi pada kasus syok yang berat dan mungkin memainkan peran penting pada kejadian perdarahan masif atau syok yang mematikan. Hasil uji hematologis (misal: masa protrombin, masa protrombin parsial dan produk degradasi fibrinogen) harus dikaji pada semua pasien yang mengalami syok untuk membantu awitan dan tingkat keparahan koagulasi intravaskular diseminata. Hasil uji ini akan menentukan prognosis pasien.

Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah sebagai berikut:
1. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
2. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis klien stabil.
3. Setiap klien karus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah tetesan untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
4. Jumlah dan frekuensi diuresis.

Obat-obatan
a) Anti piretika: Golongan Acetaminophen 10 mg/kgBB/kali.
b) Anti konvulsan: Apabila timbul kejang, diatasi dengan pemberian:
o Diazepam 0,5 mg/kgBB/kali/IV dan dapat diulang bila perlu
o Phenobarbital 75 mg bila usia >1 tahun dan 50 mg pada umur <1>1 tahun 50 mg dan <1 tahun 30 mg, namun harus diperhatikan apakah ada depresi pernafasan.


1.9 Tindakan Pencegahan dan Pengendalian
1.Penyuluhan kesehatan
Penyuluhan kesehatan jangan terbatas pada pemberitahuan kepada masyarakat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan melalui proses komunikasi vertikal (dari atas ke bawah). Sebaliknya, penyuluhan kesehatan harus didasarkan pada penelitian yang formatif untuk mengidentifikasi apa yang penting bagi masyarakat dan harus dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu tingkat masyarakat, tingkat sistem dan tingkat politik.
Tingkat masyarakat
Penduduk jangan hanya dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan tentang pengendalian vektor, tetapi juga dengan materi pendidikan yang dapat memberikan mereka pengetahuan sehingga memungkinkan mereka menentukan pilihan kesehatan yang positif, dan memberi mereka kemampuan untuk bertindak secara mandiri dan bersama.
Tingkat Sistem
Untuk memungkinkan masyarakat dapat memobilisasi kegiatan di tingkat lokal dan sumber daya masyarakat di luar masyarakat mereka sendiri, yaitu di bidang kesehatan, pengembangan dan layanan masyarakat.
Tingkat politik
Harus tersedia mekanisme yang memungkinkan penduduk mengungkapakan dengan jelas prioritas kesehatan mereka kepada pihak pemerintah. Hal ini akan memfasilitasi penempatan program pengendalian vektor ke dalam agenda kegiatan yang diprioritaskan dan secara efektif memberikan ruang untuk kebijakan dan tindakan.

2. Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan sangat penting untuk mendapat partisipasi masyarakat. Untuk bisa mengubah perilaku masyarakat dibutuhkan waktu yang panjang, sehingga pendidikan kesehatan harus dilakukan secara berkesinambungan. Walaupun negara mungkin memiliki sumber daya yang terbatas, pendidikan kesehatan harus dijadikan prioritas di wilayah yang endemik dan di wilayah yang beresiko tinggi terhadap DHF. Pendidikan kesehatan dilakukan melalui berbagai jalur komunikasi personal, kegiatan pendidikan untuk kelompok dan melalui media massa. Pendidikan kesehatan dapat diselenggarakan olehorganisasi perempuan, guru sekolah, pemimpin formal maupun informal di masyarakat dan tenaga kesehatan. Upaya pendidikan kesehatan harus diintensifkan sebelum dimulainya periode penularan penyakit dengue sebagai salah satu komponen mobilisasi sosial. Kelompok sasaran utama adalah anak sekolah dan perempuan.

3. Manajemen Lingkungan
Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga kontak antara manusia dan vektor berkurang. Badan Kesehatan Dunia (WHO,1982) telah menetapkan tiga jenis manajemen lingkungan:
· Modifikasi lingkungan: pengubahan fisik habitat larva yang tahan lama.
· Manipulasi lingkungan: pengubahan sementara habitat vektor yang memerlukan pengaturan wadahyang “penting” dan yang “tidak penting” serta manajemen atau pemusnahan tempat perkembangan alami nyamuk.
· Perubahan habitasi atau perilaku manusia, upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dan vektor.

4. Perlindungan diri
Pakaian pelindung
Pakain mengurangi risiko tergigit nyamuk jika pakaian itu cukup tebal atau longgar. Baju lengan panjang dan celana panjang dengan kaus kaki dapat melindungi tanagan dan kaki, yang merupakan tempat yang paling sering terkena gigitan nyamuk. Anak sekolah harus dibiasakan dengan praktik ini kapan pun bila mubgkin. Menambahkan zat kimia pada pakaian, misalnya dengan permentrin, merupakan tindakan yang sangat efektif untuk mencegah gigitan nyamuk.
Penolakan serangga
Penolak serangga merupakan sarana perlindungan diri terhadap nyamuk dan serangga yang umum digunakan. Benda ini secara garis besarnya dibagi menjadi dua kategori, penolak alami dan penilak kimiawi. Minyak esensial dari ekstrak tanaman merupakan bahan pokok alami, misalnya minyak sitronela, minyak lemongrass dan minyak neem.
Insektisida untuk kelambu dan korden
Kelambu yang diberi insektisida kegunaannya sangat terbatas dalam program pengendalian penyakit dengue karena spesies vektor menggigit di siang hari. Akan tetapi, kelambu ini dapat memberikan perlindungan yang efektif bagi bayi dan pekerja malam yang tidur di siang hari. Benda ini juga efektif bagi mereka yang suka tidur siang.

5. Pengendalian Biologis
Di Asia Tenggara, penggunakan preparat biologis untuk mengendalikan populasi nyamuk vektor penyakit dengue terutama pada tahap larvanya, entah bagaimana, hanya menjadi kegiatan lapangan yang berskala kecil.
· Ikan
Ikan pemakan larva (Gambusia affinis dan Poecilia reticulata) sudah semakin banyak digunakan untuk mengendalikan An stephensi dan Ae. aegypti dikumpulan air yang banyak atau di kontainer airyang besar di negara-negara Asia Tenggara. Kegunaan dan efisiensi alat pengendali ini bergantung pada jenis penampung yang dipakai.
· Bakteri
Ada dua spesies bakteri penghasil endotoksin, Bacillus thuringiensis serotipe H-14 (Bt. H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs) adalah agens yang efektif untuk mengendalikan nyamuk. Bakteri tersebut tidak berpengaruh pada spesies nonotarget. Bt. H-14 terbukti paling efektif terhadap Ae. stephensi dan Ae. aegypti, sedangkan Bs paling efektif terhadap nyamuk Culex quinquefasciatus yangberkembang biak di air kotor. Ada berbagai jenis produk formulasi Bti yang dihasilkan oleh perusahaan –perusahaan besar untuk mengendalikan nyamuk vektor. Produk tersebut meliputi bubuk yang dapat larut dan berbagai jenis formula yang pelepasannya lambat termasuk bentuk bata, tablet dan pelet. Perkembangan lebih lanjut diharapkan terjadi dalam produk formula pelepasan lambat. Bt. H-14 memiliki kadar toksisitas yang sangat rendah terhadap mamalia dan telah diterima sebagai preparat pengendali populasi nyamuk dalam penampung air untuk kebutuhan rumah tangga.
· Siklopoids
Peran pemangsa yang dimainkan oleh copepod crustacea* (sejenis udang-udangan) telah didokumentasikan pada tahun 1930-1950, tetapi evaluasi ilmiah terhadap metode ini baru dilakukan pada tahun 1980 di Tahiti, Polinesia Prancis, ternyata Mesocyclop aspericornis dapat mempengaruhi 99,3% angka kematian larva nyamuk Aedes (Stegomyia) dan masing-masing 9,7% serta 1,9% larva Cx. quinquefasciatus dan Toxorhynchiti amboinensis. Percobaan yang dilakukan di liang kepiting terhadap nyamuk Ae. polynensiensis dan tanki air, drum, serta sumur tertutup memberikan hasil yang beragam. Di Queensland, Australia, tujuh spesies dievaluasi di laboratorium, semuanya kecuali M. Notius terbukti merupakan predator/pemangsa yang efektif terhadap nyamuk Ae. aegypti dan An. farauti tetapi bukan terhadap nyamuk Cx. quinquefasciatus. Akan tetapi, uji coba lapangan yang dilakukan di Queensland utara dan selatan menunjukkan hasil yang beragam. Di Thailand, hasilnya juga beragam, tetapi di Vietnam hasilnya lebih menunjukkan keberhasilan, yaitu ikut berkontribusi dalam pemberantasan nyamuk Ae. aegypti di sebuah desa.
Walaupun kurangnya nutrien dan pembersihan berkala yang dilakukan pada penampungan menghambat kelangsungan hidup copepod, organisme ini lebih sesuai jika ditempatkan dalam penampung yang tidak dapat dibersihkan secara teratur (sumur, bak beton dan ban). Organisme ini juga dapat digunakan bersama-sama dengan Bt.-H14. Copepod memang memainkan peran dalam mengendalikan vektor dengue tetapi penelitian terhadap keterjangkauan operasionalitas metode ini masih perlu dilakukan.
· Perangkap telur autosidal
Metode perangkap telur autosidal (perangkap telur pembunuh) yang diterapkan pemerintah Singapura menunjukkan hasil yang memuaskan sebagai alat pengendali dalam pemberatasan nyamuk Ae. aegypti di Bandara Internasional Changgi. Sementara itu, di Thailand, sarana ini lebih jauh diodifikasi sebagai perangkap larva-auto (auto-larval trap) dengan menggunakan benda plastik yang tersedia di daerah itu. Sayangnya, akibat kondisi kebiasaan penyimpanan air yang belaku di Thailand, teknik ini tidak terlalu efisien untuk menurunkan populasi alami nyamuk Ae. aegypti. Hasil yang lebih baik diharapkan jika jumlah habitat larva yang potensial berkurang, atau semakin banyak perangkap autosidal yang ditempatkan di wilayah dalam pengawasan, atau kedua aktivitas tersebut dilakukan secara serentak. Dengan demikian, dalam beberapa kondisi, teknik tersebut dapat diyakini lebih ekonomis dan dapat menjadi sarana yang cepat untuk menurunkan tingkat kepadatan alami nyamuk betina sekaligus berperan sebagai alat untuk memantau gangguan di wilayah yang tingkat kepadatan populasi vektornya sudah menunjukkan penurunan. Akan tetapi, keberhasilan penerapan metode perangkap nyamuk autusidal ini bergantung pada jumlah alat yang dipasang, lokasi pemasangan dan daya tariknya bagi nyamuk ae. aegypti betina sebagai tempat bertelur.

6. Pengendalian Kimiawi
· Pemberian larvasida kimiawi
Pemberian larvasida atau pengendalian ”lokal” nyamuk Ae. aegypti biasanya terbatas pada wadah air yang digunakan di rumah tangga yang tidak dapat dihancurkan, dimusnahkan, ataupaun dikelola. Penggunaan larvasida kimiawi paling baik digunakan dalam situasi saat hasil surveilans penyakit dan vektor menunjukkan adanya periode tertentu yang meniliki risiko tinggi dan tempat dengan KLB mungkin akan terjadi. Penetapan jadwal dan lokasi yang tepat sangat penting untuk mendapatkan keefektifan yang maksimum. Petugas pengkontrol yang mendistribusikan larvasida harus menganjurkan penghuni rumah untuk selalu mengontrol larva nyamuk dengan melakukan sanitasi lingkungan. Ada tiga insektisida yang dapat digunakan untuk wadah air minum.
1. Butiran pasir temefos 1%
Butiran pasir temefos 1% diberikan pada wadah dengan menggunakan sendok plastik penakar untuk memberikan dosis 1 ppm. Dosis ini terbukti ampuh untuk 8-12 minggu, terutama dalam gentong tanah liat yang memiliki lubang aliran, dalam pola penggunaan air yang normal. Walaupun kekebalan terhadap temefos dalam populasi nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus tidak pernah dilaporkan dari wilayah Asia Tenggara, tingkat kerentanan nyamuk Aedes harus terus dipantau untuk memastikan keefektifan penggunaan insektisida ini.
2. Pengaturan pertumbuhan serangga
Pengaturan pertumbuhan serangga (insect growth regulator, IGRs) akan menggangu perkembangan tahap imatur nyamuk dengan memutus sintesis kitin selama proses pergantian kulit atau pada saat pembentukan pupa atau dalam proses peralihan menjadi nyamuk dewasa. Kebanyakan IGRs memiliki tingkat toksisitas yang rendah terhadap mamalia (nilai LD50 pada toksisitas oral akut untuk metopren (Altosid) adalah 34.600 mg/kg). Umumnya, IGRs dapat memberikan efek residual jangka panjang (tiga sampai enam bulan) pada dosis yang relatif rendah jika dipakai untuk gentong tanah liat dengan sebuah lubang aliran. Karena IGRs tidak menyebabkan kematian langsung pada nyamuk yang perkembangbiakkan nyamuk merupakan suatu pelanggaran, akan membutuhkan beberapa perubahan dalam undang-undangnya agar tidak memberikan sanksi pada pemilik rumah yang menggunakan senyawa ini.
3. Bacillus thuringiensis H-!4 (Bt.H-14)
Bt.H-14 yang dijual dengan beberapa nama dagang, terbukti merupakan laervasida nyamuk yang ramah lingkungan. Preparat ini benar-benar aman bagi manusian jika digunakan dalam air minum dengan dosis yang normal. Formulasi Bt.H-14 lepas-lambat ini tengan dikembangkan. Formulasi briket yang tampaknya memiliki aktivitas residual yamg paling besar dapat ditemukan di pasaran dan dapat digunakan dengan aman dalam oersediaan air minum. Penggunaan Bt.H-14 ini dijelaskan topik tentang pengendalian biologis. Badan parabasal besar yang terbentuk dalam preparat ini mengandung sebuah toksin yang akan terurai ahnya pada usus nyamuk. Kelebihan Bt.H-14 ini adaalah walaupun penggunaanya dapat menghancurkan larva nyamuk, preparat ini memberikan pengecualian untuk tidak menyerang predator serangga dan spesies non target lain yang mungkin ada. Formulasi Bt.H-14 cenderung cepet mengendap di dasar wadah air sehingga diperlukan pemberian yang cukup sering. Toksinnya juga labil terhadap cahaya dan akan hancur jika terkena sinar matahari.
· Pengasapan wilayah
Metode ini melibatkan pengasapan droplet-droplet kecil insektisida kedalam udara untuk membunuh nyamuk dewasa. Teknik ini sudah dijadikan metode pokok pengendalian DHF di beberapa negara selam 25 tahun. Sayangnya hasilnya tidak begitu memuaskan, ditunjukkan dengan adanya peningkatan dramatis insidensi DHF dalam waktu yang bersamaan. Studi terbaru memperlihatkan bahwa metode ini hanya berdampak kecil pada populasi nyamuk. Metode pengasapan ini diharapkan digunakan dalam kondisi yang paling ekstrim selama berlangsungnya epidemik DHF. Pelaksanaan kegiatan ini harus dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat, serta sesuai dengan instruksi yang ditetapkan untuk mendapatkan cakupan yang maksimum sehingga efek penetrasi asap cukup maksimal untuk mendapatjkan hasil yang diinginkan.
Jika teknik pengasapan ini yang digunakan, penting kiranya untuk mematuhi instruksi tentang penggunaan peralatan dan petunjuk yang ada dalam label insektisida serta memastikan bahwa peralatan yang digunakan memang terpelihara dengan baik dan dikalibrasi dengan benar. Droplet yang terlalu kecil mungkin akan menghilang di wilayah bukan target operasi, sedangkan droplet yang besar akan cepat jatuh. Mulut penyemprot untuk pweralatan volume ultra rendah yang diletakkan di tanah harus mampu menghasilkan droplet yang berukuran 5 sampai 27 mikron dan diameter garis tengah massnya jangan sampai melebihi ukuran droplet yang ditetapkan pabrik pembuatnya. Ciri droplet yang diinginkan juga mencakup periode yang memadai untuk membentuk suspensi di udara dengan peresapan dan absorpsi yang sesuai pada wilayah target sehingga dapat memberikan dampak pada nyamuk dewasa. Umumnya, ada dua bentuk pengadapan wilayah yang dipakai dalam program pengendalian Ae. aegypti, yaitu ”thermal fogs” (pengasapan dengan uap panas) dan ”cold fogs” (pengasapan dengan uap dingin). Kedua teknik itu dapat dilakukan dengan mesin yang diopersikan di atas kendaraan atau oleh tangan.
· Pengasapan dengan uap panas
Pengasapan dengan uap panas mengandung insektisida yang biasanya diproduksi saat formulasinya yang sesuai berkondensasi setelah diuapkan dalam suhu yang tinggi. Umunnya, mesin pengasapan denga uap panas menerapkan prinsip denyut resonansi untuk menghasilkan gas panas (di atas 200º C) dengan kecepatan tinggi. Gas ini mengatomisasi formula insektisida dengan cepat sehingga langsung menguap dan berkondensasi dengan cepat hanya dengan sedikit penguraian formulasi yang tidak berarti. Formulasi pengasapan dengan uap panas dapat didasarkan pada minyak ataupun air. Formulasi yang didasarkan pada minyak (diesel) akan menghasilkan kabut asap putih tebal, sedangkan yang didasarkan pada air akan menghasilkan kabut tipis sedikit berwarna. Ukuran diameter droplet (partikel) pada pengasapan dengan uap panas biasanya kurang dari 15 mikron. Ukuran droplet yang tepat bergantung pada jenis mesin dan kondisi operasionalnya. Akan tetapi, ukuran droplet yang seragam sulut dicapai dalam pelaksanaan pengasapan yang biasa.
· Ultra-low volume (ULV),aerosol (pengasapan dengan uap dingin) dan kabut
ULV melibatkan penggunaan sejumlah kecil insektisida cair yang pekat. Penggunaan konsentrat insektisida kurang dari 4,6 liter/ha biasanya disebut sebagai penggunaan ULV. ULV berkaitan langsung dengan penggunaan volume dan bukan dengan ukuran droplet. Akan tetapi, ukuran droplet juga penting dan peralatan yang digunakan harus mampu menghasilkan droplet yang ukurannya berkisar antara 10-15 mikron, walaupun keefektifannya hanya sedikit berubah jika kisaran ukuran droplet diperbesar menjadi 5-25 mikron. Ukuran droplet harus dipantau dengan melihat hasil pajanannya pada slide berlapis teflon atau silikon dan diperiksa dibawah mikroskop. Aerosol, kabut dan asap dapat dihasilkan oleh mesin yang portabel, kendaraan penyemprot maupun peralatan yang digunakan kapal terbang.
· Penerapan dari rumah ke rumah dengan menggunakan peralatan yang portabel
Unit pengasapan yang portabel dapat digunakan jika wilayah yang akan ditangani terlalu besar atau di wilayah yang tidak dapat digunakan mesin di atas kendaraan secara efektif. Peralatan ini ditujukan untuk penggunaan luar ruangan yang terbatas dan untuk ruangan yang tertutup (bangunan) dengan ukuran tidak kurang dari 14 m³. Penerapan poratabel dapat dilakukan di daerah pemukiman miskin yang sangat padat, bangunan bertingkat, ruang bawah tanah dan gudang, saluran air tertutup, tanki penyiram dan bangunan berpenghuni atau komersial. Operator dapat menyemprot rata-rata 80 rumah sehari, tetapi bobot mesin dan getarannya menyebabkan operator perlu beristirahat sehingga untuk satu mesin dibutuhkan dua atau tiga operator.
· Pengasapan dari kendaraan penyemprot
Kendarann bergenerator aerosol dapat digunakan untuk daerah perkotaan atau pinggiran kota dengan kondisi jalan yang baik. Satu mesin dapat mencakup 1500-2000 rumah (kurang lebih 80 ha) untuk menentukan cakupan yang diperoleh dalam sekali lintasan. Kecepatan kendaraan dan waktu pengasapan dalam sehari merupakan faktor-faktor penting yang harus diperhitungkan saat menyemprotkan insektisida melalui kendaraan penyemprot. Kecepatan kendaraan tidak boleh melebihi 16 km/jam (10m/jam). Jika kecepatam angin lebih besar dari 16 km/jam atau jika suhu udara sekitar lebih tinggi dari 28ºC, insektisida jangan disemprotkan. Waktu terbaik untuk menerapkannya adalah pada pagi hari (sekitar jam 06.00-0830) atau sore menjelang malam (17.00-19.30).


BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DHF


3.1 Pengkajian Keperawatan Pasien DHF

Ø Anamnesa
a. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa, nama orang tua, alamat, umur, pekerjaan, pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan DHF mempunyai keluhan utama demam, nyeri ulu hati,
c. Riwayat penyakit dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh pasien seperti apa pernah terkena DHF sebelumnya, apa pasien pernah masuk rumah sakit, obat-obatan yang pernah digunakan, apakah mempunyai riwayat alergi.
d. Riwayat penyakit keluarga
Adakah keluarga yang pernah menderita DHF, upaya yang dilakukan dan bagaimana genogramnya.
Ø Data Subjektif
Data subjektif adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan yang dinyatakan oleh pasien. Pada pasien DHF data subjektif yang sering ditemukan timbul antara lain :
Breath: sesak napas
Blood: penurunan trombosit, perdarahan
Brain: sakit kepala
Blandder: urine menurun
Bowel: konstipasi
Bone: nyeri pada otot dan sendi, pegal-pegal pada seluruh tubuh, lemah
Anoreksia (tak nafsu makan), mual, haus, sakit saat menelan
Demam atau panas

Ø Data Objektif
Data Objektif adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data objektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
§ Suhu tubuh tinggi: menggigil; wajah tampak kemerahan (flushimg)
§ Mukosa mulut kering; perdarahan gusi; lidah kotor (kadang-kadang)
§ Tampak bintik merah pada kulit (petekie)
§ kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak buang air kecil dan kelenturan kulit menurun
Ø Pemeriksaan Fisik
· Kesadaran: Komposmentis, apatis, somnolen, sopor, koma, refleksi, sensibilitas, nilai Glosgow Coma Scale (GCS)
· Tanda tanda vital: Suhu tinggi, TD rendah, nadi, pernapasan dangkal/cepat
· Sirkulasi: Turgor menurun
· Abdomen: Nyeri tekan pada epigastrik, pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa
· Keadaan kulit: kering dan kelenturan kulit menurun.
Ø Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
1) Uji Rumpel Leede (RL)
Pemeriksaan RL ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan vaskuler. Uji Rumpel Leede dilakukan dengan cara:
· Memasang manset pada lengan pasien
· Memompa manset sampai 140 mmHg, biarkan 5-10 menit
· Lihat 5 cm di bawah manset, apakah ditemukan petekie, karena petekie menunjukkan perdarahan kulit
Perlu diingat bahwa bila uji ini positif tidak selalu disebabkan oleh virus dengue saja, namun juga dapat disebabkan oleh penyakit virus lainnya. Hasil dikatakan normal bila petekia pada bagian volar tangan yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm yang terletak 4 cm dibawah lipatan siku berjumlah 5 atau kurang atau dalam diameter 2,8 inci terdapat petekia kurang dari 10.
2) Kadar Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Hematokrit dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih. Harga hematokrit di laboratorium PK RSU Dr. Soetomo, wanita 35-45%, pria 40-50%.
3) Jumlah Trombosit
Penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) pada umumnya terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Dikatakan trombositopenia bila jumlah trombosit dibawah 100.000/u, biasanya dapat dijumpai antara hari sakit ketiga sampai ketujuh.

Pemeriksaan trombosit dapat dihitung dengan cara direct dan indirect. Cara direct dilakukan dengan menghitung jumlah trombosit dalam darah yang diencerkan menggunakan kamar hitung atau blood cell counter, sedangkan cara indirect bila dilakukan dengan manual yaitu menghitung trombosit dalam sejumlah lapangan pandang tertentu, biasanya 40 lapangan pandang dalam hapusan darah tepi (HDT) dan mengkalikannya dengan 1000. Angka kesalahan hitung trombosit cukup besar walaupun dilakukan dengan blood cell counter terutama untuk hasil yang di luar rentang nilai normal atau yang menunjukkan tanda “flags”.

b.Pemeriksaan serologi
1)Pemeriksaan serologi dengan tes HI (Hemaglutinasi Inhibisi)
Yakni untuk mengetahui adanya peninggian titer antibody. Untuk itu dibutuhkan 2 spesimen pada masa akut dan konvalesen.
1)Pemeriksaan serologi dengan Uji Dengue Blot/ Dot imunoasai/ Dengue stick
Prinsip dasar uji dengue blot/ dengue stick/ dot imunoasai adalah uji ELISA, baik uji ELISA tak langsung (Indirect ELISA) atau menggunakan captured-ELISA. Yang menbedakan uji dengue blot/ dengue stick/ dot iminoasai dibandingkan dengan ELISA yaitu pada fase padatnya, menggunakan kertas nitroselulose yang bersifat high capacity. Pemeriksaaan ini dilakukan pada serum tunggal dengan hasil kualitatif.
Pada uji dengue blot/ dengue stick/ dot imunoasai dapat menggunakan metode ELISA tak langsung yaitu antigen virus dilekatkan langsung pada fase padat, dimana setelah diberikan blokade untuk menutup celah-celah diantara antigen pada kertas nitroseluler, langsung diberikan serum penderita. Bila di dalam serum penderita terdapat antibody anti-dengue dapat berupa IgG anti-Dengue atau IgM anti-dengue, yang dikerjakan secara terpisah yaitu IgG Indirect ELISA saja atau IgM Indirect ELISA, maka antibody tersebut akan berikatan dengan antigen yang terikat pada kertas nitroselulose. Setelah tahap inkubasi dan pencucian, ikatan antigen-antibodi ini dapat dilacak dengan menggunakan konjugat yaitu antibopdi yang berlabel enzim AP (alkalinefosfatase), HRP (horseradisd peroxidase) maupun colloidal gold yang akan memberikan dot berwarna biru keunguan setelah ditambah substrat berkromogen.
Selain dengan metode ELISA tak langsung, uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode Captured ELISA, misalnya pada IgM Captured ELISA dimana antihuman IgM dilekatkan pada fase padat kertas nitroselulose. Antihuman IgM ini akan menangkap IgM dimana serum penderita. Tahap berikutnya diberikan antigen Dengue, selanjutnya diberikan pelacak seperti yang terdapt pada metode ELISA tak langsung di atas dan akan memberikan hasil dot berwarna biru keunguan yang menunjukkan hasil positif.
2) Pemeriksaan serologi uji ELISA
Uji ELISA tidak membutuhkan sepasang serum, cukup dengan serum tunggal dapat untuk mendeteksi IgG maupun IgM anti-Dengue. Uji ini bersifat kuantitatif, biasanya hasil yang dibaca berupa absorbans yang kemudian dikonversikan menjadi satuan unit atau rasio.
Prinsip uji ELISA untuk deteksi entibodi terhadap virus Dengue, teknik dapat berupa ELISA tak langsung (Indirect ELISA) maupun Captured ELISA.
Di pasaran Indonesia saat ini terdapat pemeriksaan ELISA baik yang indirect ELISA untuk mendeteksi IgG anti-dengue maupun yang Captured ELISA yang dapat mendeteksi IgG anti-Dengue serta IgM anti-Dengue dalam serum penderita. MAC ELISA adalah istilah dari singkatan IgM Captured ELISA, dengan prinsip dasar goat atau rabbit antihuman IgM yang dilapiskan pada fase padat (microtiter plate ELISA) akan berikatan dengan IgM anti-derngue dari serum penderita. Langkah berikutnya ditambahkan antigen Dengue, selanjutnya diberi konjugat antiviral IgG-HRP dan substrat lalu diukur kadar absorbannya sehingga dapat diketahui konsentrasi IgM-nya.
Pemeriksaan Captured ELISA untuk IgM dan IgG sekaligus pada pemeriksaaan dengan metode Dengue Duo ELISA dapat untuk membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder, walaupun hanya memakai serum tunggal.
1) Pemeriksaan serologi uji ICT (Imunokromatografi)
Pada Dengue Rapid Test (uji ICT) berbentuk strip ini telah distandardisasi sedemikian rupa sehingga pada penderita infeksi primer IgM positif dimana IgG-nya negatif, sebaliknya pada infeksi sekunder hasil IgG positif dapat disertai dengan atau tanpa hasil IgM yang positif.
Prinsip pemeriksaan yaitu Captured ELISA dengan fase padat nitroselulose/dipstick dengn daya kromatografi maka antibody IgM atau IgG anti- Dengue yang terdapat di dalam serum penderita akan berikatan dengan antihuman IgM atau antihuman IgG yang telah diimobilisasi pada fase padatnya membentuk garis melintang pada membaran tes. Secara bersamaan antibudi monoclonal anti-Dengue yang berlabel gold bereaksi dengan antigen dengue (rekombinan). Konjugat ini (antibody momoklonal anti-dengue yang berikatan dengan antigen Dengue) akan berikatan dengan antibody IgM atau IgG dari serum penderita tersebut membentuk garis berwarna ungu.
Uji iminokromatografi ini baik untuk digunakan di lapangan karena cepat dan praktis serta lebih berguna pada daerah infeksi sekunder lebih sering terjadi misalnya di Asia Tenggara dan Amerika Selatan.

2) PCR (Polymerase Chain Reaction)
Virus Dengue merupakan virus RNA, sehingga untuk melakukan PCR harus dilakukan reverse transcription agar terbentuk cDNA (complementary DNA) yang kemudian akan diamplifikasi dengan menggunakan alat DNA Thermal Cycler. Deteksi RNA virus Dengue menggunakan teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ini sekaligus juga dapat untuk menentukan serotype virus Dengue (D1, D2, D3, D4). Teknik yang digunakan adalah nested PCR, di mana pada PCR tahap kedua menggunakan type spesifik primer ( TS1-4) sesuai dengan serotype virus dengue.
Prinsip PCR terdiri atas tiga tahap yaitu denaturasi untai ganda DNA, selanjutnya annealing (penempelan) primer pada DNA targetnya, terakhir primer extension (pemanjangan primer) dengan adanya DNA polimerase. Hasil DNA yang terjadi merupakan akumulasi eksponensial dari DNA target yang spesifik, sekitar 2ⁿ di mana n adalah jumlah siklus yang diatur dalam proses PCR ini. Visualisasi proses penggandaan DNA ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan elektroforesis gel atau dengan menggunakan DNA probe.
Primer yang dipakai pada nested RT-PCR untuk deteksi virus Dengue di TDC (Tropical disease Centre) Unair adalah sebagai berikut:
Primer Sekuens Posisi Jumlah
Genom dalam bp
D1 5’-TCAATATGCTGAAACGCGCGAGAAACCG-3’ 131-161 511
D2 5’-TTGCACCAACAGTCAATGTCTTCAGGTTC-3’ 616-644 511
TS1 5’-CGTCTCAGTGATCCGGGGG-3’ 568-586 482
TS2 5’-CGCCACAAGGGCCATGAACAG-3’ 232-252 119
TS3 5’-TAACATCATCATGAGACAGAGC-3’ 400-421 290
TS4 5’-CTCTGTTGTCTTAAACAAGAGA-3’ 506-527 392
b. Isolasi Virus
Darah beku atau darah yang dicampur dengan heparin yang diperoleh dari seorang penderita disaat awal perjalanan penyakitnya diperbolehkan untuk pemeriksaan isolasi virus.
Serum atau plasma sebaiknya dipasahkan dan segera dipakai atau disimpan pada suhu negatif 60° C atau lebih rendah sampai dipakai. Untuk penyimpanan jangka pendek, bahan dapat disimpan pada 4 - 8° C selama 24 jam.
Factor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi virus adalah pengambilan spesimen yang awal biasanya dalam lima hari setelah timbulnya demam, penanganan spesimen serta penghitungan spesimen yang baik ke laboratorium.

3.2 Diagnosa Keperawatan pada Pasien DHF
Dibawah ini adalah beberapa diagnosa kepertawatan yang dapat ditemukan pada pasien dengan DHF antara lain sebagai berikut :
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) behubungan dengan proses infeksi
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan abnormal akibat muntah.
4. Risiko tinggi injury (perdarahan) lebih lanjut behubungan dengan trombositopenia.
5. Risiko tinggi terjadi reaksi transfusi berhubungan dengan pemberian transfusi..
6. Gangguan keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
7. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam.

3.3 Intervesi Keperawatan
1. Gangguan Pemenuhan kebutuhan nutrisi, berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
v Tujuan:
Dalam waktu ± 3-4 hari kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
v Kriteria Hasil:
· Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan.
· Pasien tidak merasa mual dan muntah.

INTERVENSI
Memberikan penjelasan manfaat / nutrisi bagi klien terutama saat klien sakit.
Memberikan nutrisi parenteral (Kolaborasi dengan dokter)
Memberikan obat anti mual dan muntah
Memberikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur, tim dan hidangkan saat masih hangat
Memberikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Memberikan umpan balik positif saat klien mau berusaha menghabiskan makanan.
Mencatat jumlah/porsi makanan yang dihabiskan oleh klien setiap hari.
Monitoring pasien

2.Peningkatan suhu tubuh ( hipertemia )berhubungkan dengan proses infeksi.
v Tujuan:
Dalam waktu ± 24 jam suhu tubuh pasien kembali normal ( 36°-37° )

v Kriteria Hasil:
· Suhu tubuh normal ( 36°-37° )
· Klien bebas demam


INTERVENSI
Menjelaskan pentingnya tirah baring bagi pasien dan akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan.
Memberikan penjelasan pada pasien/keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi demam dan menganjurkan pasien/keluarga untuk kooperatif.
Memberikan kompres dingin (pada daerah axilla dan lipat paha).
Menganjurkan klien untuk banyak minum ±2,5l/24 jam dan jelaskan manfaatnya bagi klien.
Memberikan obat antipiretik sesuai dengan petunjuk dokter.
Menganjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
Mencatat asupan dan keluaran.
Memberikan terapi cairan IV dan obat-obatan sesuai dengan dokter (masalah kolaborasi)
Monitoring pasien

. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan abnormal akibat muntah.
v Tujuan:
Dalam waktu ± 2 hari pasien akan menunjukkan perbaikan keseimbangan cairan.
v Kriteria hasil:
· Pengeluaran urine yang adekuat, tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik.

INTEREVENSI
Pertahankan masukan dan pengeluaran yang akurat dan hubungkan dengan berat badan harian.Termasuk perkiraan kehilangan seperti muntah dan demam.
Observasi kulit (membran) mukosa untuk kekeringan, turgor, catat edema perifer/saklar.
Awasi pemeriksaan laboratorium.
Ex: Hb/Ht, elektrolit, protein albumin. BUN, kreatinin

Memberikan plasma/darah, cairan elektrolit.
Monitoring pasien

4 Risiko tinggi injury ( perdarahan) lebih lanjut behubungan dengan trombositopenia
v Tujuan:
Dalam kurun waktu ± 24 jam tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
v Kriteria hasil:
· Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan.
· Jumlah trombosit meningkat >100.000.

INTERVENSI
Memonitor tanda-tanda penurunan trombosit yang disertai dengan tanda-tanda klinis
Memberikan penjelasan tentang pengaruh trombositopenia setiap hari.
Memonitor jumlah trombosit setiap hari.
Menganjurkan pasien untuk banyak istirahat.
Memberikan penjelasan pada pasien/keluarga untuk segera melapor jikaada tanda-tanda perdarahan lebih lanjut seperti: hematemesis, melena, epistaksis.
Menjelaskan pbat-obatan yang diberikan dan manfaatnya serta akibatnya bagi pasien.

5. Risiko tinggi terjadinya reaksi transfusi berhubungan dengan pemberian transfusi
v Tujuan:
Setelah pemberian transfusi, reaksi transfusi tidak terjadi
v Kriteria Hasil :
· Tidak terjadi tanda-tanda reaksi transfusi.

INTERVENSI
Pesan darah/komponen darah sesuai dengan instruksi medis.
Sebelum pemberian transfusi yakinkan bahwa daerah tusukan infus tidak tampak tanda-tanada plebitis dan aliran infus lancar.
Beriakan normal salin (NaCl) sebelum pemberian transfusi.
Jangan tunda pemberian transfusi lebih dari 30 menit setelah darah diterima dari bank darah.
Tetap berada di samping pasien 15-30 menit pertama selama pemberian transfusi dan observasi tanda-tanda vital pasien.
Jelaskan tentang tanda-tanda atau reaksi yang mungkin terjadi selama pemberian transfusi.
Anjurkan pasien/ke;uarga untuk segera melapor jika ada tanda-tanda atau reaksi transfusi.
Catat tanda-tanda/reaksi yang dialami pasien.

6.Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
v Tujuan:
Dalam waktu ± 3-4 hari, pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari.
v Kriteria Hasil ;
· Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi

INTERVENSI
Menyiapkan bel didekat pasien.
Meletakkan barang-barang di tempat yang mudah dijangkau oleh pasien
Membantu pasien memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai dengan tingkat keterbatasan pasien, contohnya: mandi, makan, eliminasi
Membantu pasien untuk mandiri sesuai dengan perkembangan kemajuan fisiknya.
Memberi penjelasan tentang hal-hal yang dapat membantu dan meningkatkan kekuatan fisik pasien.
Monitoring pasien
· Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.

7. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam.
v Tujuan:
Selama demam, pasien akan menunjukkan keseimbangan cairan.
v Kriteria Hasil:
· Membran mukosa lembab
· Turgor kulit baik
· Tanda-tanda vital stabil

INTERVENSI
Awasi TTV, contoh: tekanan darah, frekuensi jantung, nadi.
Catat perubahan mental, turgor kulit, hidrasi, membran mukosa.
Pantau masukan dan haluran, catat warna, karakter urine. Hitung keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tidak tampak. Ukur berat badan sesuai indikasi.
Tekankan cairan sedikitnya 2500 ml/hari atau sesuai kondisi individual.
Beri obat antipiretik
BAB 4
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae,dengan genusnya adalah flavivirus, yang ditandai oleh empat manifestasi klinis utama; demam tinggi, fenomena hemoragik, hepatomegali dan pada kasus berat,tanda-tanda kegagalan sirkulasi.
Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit orang dengan demam berdarah, maka virus Dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang diisapnya. Didalam tubuh nyamuk, virus berkembang baik dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus Dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus Dengue ditularkan ke orang lain. Didalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistem retukuloendotelial, dan target utama virus dengue adalah APC (antigen presenting cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena. Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis tampak hingga 5-7 hari setelahnya. Virus bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T.
Manifestasi klinis dari DHF adalah: Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2 - 7 hari, terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan Uji torniquet positif, perdarahan spontan berbentuk petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena, Hepatomegali,Renjatan (syok), nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin dan anak gelisah.
Terdapat dua perubahan patofisiologis yang menyolok. Pertama adalah meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Kedua, gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskuler, trombositopenis, dan kelainan koagulasi. Pada DBD terdapat kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Pentalaksanaan pada pasien DHF dapat berupa pemberian cairan secara Intravena, koreksi elektrolit dan kelainan metabolik, pemberian obat penenang, terapi oksigen pada pasien dengan renjatan, transfusi darah pada penderita hematemesis dan melena serta monitoring tanda-tanda vital.

4.2 SARAN

Sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Oleh karena itu, diharapkan kita sebagai tenaga kesehatan dapat mengetahui cara penularan dan faktor-faktor resiko apa saja yang dapat mengakibatkan terinfeksinya virus dengue ini. Dengan demikian kita dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersiahan lingkungan, karena hal itu dapat mencegah proses perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor dari demam berdarah Dengue.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,Lynda Jual.2001.Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi8.Jakarta:EGC.
Carpenito, Lynda Juall.2000.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktis klinis edisi 6. Jakarta.EGC
Doengoes, Marilynn E, dkk.2000.Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC.
Mansjoer, Arif, dkk.2001.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta:Media Aeculapius FKUI.
Kim, Mi Ja.1995.Diagnos aKeperawatan edisi 5.Jakarta:EGC
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.2006.Panduan Pelayanan Medik.Jakarta:PBPAPDI.
Price, Sylvia A, dkk.2006.Patofisiologi volume 1.Jakarta:EGC.
Soedarto.2002.Sinopsis Klinis Penyebab, Gejala Klinis Diagnosa Banding, Diagnosa Laboratoris dan Terapi.Surabaya:Airlangga.University Press.
Suyono, Slamet, dkk.2001.Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi ketiga.Jakarta:Balai Penerbit FKUI.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.1985.Buku Kuliah 2 Kesehatan Anak.Jakarta:Infomedika.
www.ummusalma.wordpress.com
ar-royyan-3176
agus rasidi, 29 desember 2005
puskesmas palaran, 5 november 2005